Penjual Gorengan yang Jadi Content Creator Miliaran Rupiah

Namanya Rara. Usianya baru 29 tahun, tapi apa yang telah ia lakukan membuat banyak orang dewasa terdiam. Ia tidak berasal dari keluarga kaya, bahkan bisa dibilang nyaris tak memiliki apa-apa. Ayahnya seorang pemulung, ibunya buruh cuci keliling. Sejak kecil, Rara hidup di kawasan bantaran sungai di Surabaya, mg4d dikelilingi tumpukan sampah dan bau menyengat.

Namun dari tempat yang paling kotor dan terabaikan, lahirlah seorang pejuang lingkungan yang kelak diundang ke forum dunia di Swiss. Kisah hidup Rara bukan sekadar inspiratif—ia adalah bukti nyata bahwa keberanian dan kepedulian bisa tumbuh dari tempat yang paling sederhana.

Masa Kecil yang Penuh Luka

Rara kecil tumbuh tanpa mainan, tanpa buku cerita, bahkan tanpa kamar tidur. Ia tidur di atas tumpukan karung goni bersama kedua adiknya. Setiap hari, ia membantu ayahnya memilah sampah—botol, kaleng, plastik, apa saja yang masih bisa dijual. Tangannya sering terluka terkena pecahan kaca, tapi ia tidak pernah mengeluh.

Di sekolah, Rara kerap diejek. “Anak pemulung, bau sampah!” kata teman-temannya. Ia belajar menahan tangis, belajar menegakkan kepala di tengah ejekan. Ia mulai sadar bahwa dunia memandang rendah orang miskin. Tapi ia juga sadar, kalau ia ingin mengubah nasib, ia harus kuat.

Meski sering datang ke sekolah dengan baju seragam sobek dan perut kosong, Rara selalu menjadi salah satu siswa terbaik. Ia senang biologi dan geografi. Ia tertarik pada isu lingkungan sejak SD, ketika gurunya menjelaskan bagaimana sampah bisa mencemari air dan membunuh ikan. Saat itu ia berpikir, “Aku hidup di antara sampah. Kalau aku bisa mengubah ini, mungkin aku bisa menyelamatkan hidup orang lain juga.”

Ketika Sampah Menjadi Sumber Harapan

Saat SMA, Rara mengikuti lomba karya ilmiah dengan proyek sederhana: menyulap plastik menjadi bahan bakar minyak. Ia bereksperimen di dapur rumahnya yang nyaris roboh. Menggunakan kaleng bekas, panci tua, dan selang plastik, ia mencoba mengurai sampah menjadi energi. Hasilnya tidak sempurna, tapi cukup untuk menyalakan lampu kecil selama dua jam.

Proyek itu membuatnya juara dua tingkat provinsi. Hadiahnya ia gunakan untuk membeli buku dan membantu biaya sekolah adiknya. Tapi yang lebih penting, itu adalah pertama kalinya Rara merasa diakui bukan sebagai anak pemulung, tapi sebagai ilmuwan muda.

Ia lalu mengikuti berbagai pelatihan lingkungan. Ia menjadi relawan pembersih sungai. Ia mengajar anak-anak di kampungnya tentang cara memilah sampah dan membuat kompos. “Aku tidak punya uang. Tapi aku bisa berbagi pengetahuan,” katanya.

Melawan Sistem dengan Ilmu

Rara berhasil lulus SMA dengan nilai tinggi dan diterima di jurusan Teknik Lingkungan di sebuah universitas negeri ternama. Ia kuliah sambil bekerja—menjadi penjaga warnet, penerjemah lepas, dan kadang-kadang kembali memulung di akhir pekan. Ia tidak malu. Baginya, kerja apa pun asal halal adalah kehormatan.

Selama kuliah, ia membuat proyek sosial bernama Bank Sampah Mandiri, yang membantu warga miskin mengelola sampah menjadi tabungan. Mereka menukarkan sampah anorganik dengan poin yang bisa digunakan untuk membeli beras, sabun, atau bahkan membayar biaya sekolah. Proyek ini menarik perhatian banyak pihak. Ia mendapat penghargaan dari kementerian, dan liputan di beberapa media nasional.

Namun semua itu bukan tanpa tantangan. Ada pejabat lokal yang meremehkan idenya. Ada perusahaan besar yang merasa terganggu karena usahanya membuat warga mulai sadar akan bahaya limbah industri. Tapi Rara tak mundur. Ia belajar hukum lingkungan, ia turun langsung ke lapangan, ia berani bicara dalam forum-forum publik.

“Aku tidak takut pada mereka yang punya uang. Aku takut pada masa depan bumi kalau kita tidak bertindak hari ini,” ujarnya lantang dalam sebuah seminar.

Menembus Panggung Dunia

Puncaknya terjadi saat Rara diundang ke Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss. Ia menjadi salah satu dari 10 pemuda dunia yang dianggap membawa perubahan positif di bidang lingkungan. Dengan kerudung sederhana dan bahasa Inggris yang ia pelajari sendiri lewat YouTube, Rara berdiri di depan para pemimpin dunia dan menceritakan kisahnya.

Ia menceritakan bagaimana ia bangkit dari tumpukan sampah menjadi agen perubahan. Ia menunjukkan bahwa solusi untuk krisis lingkungan global bisa datang dari kampung kecil di Indonesia. Saat ia selesai bicara, ruangan hening, lalu disambut dengan standing ovation.

Video pidatonya viral. Jutaan orang di seluruh dunia menonton. Banyak yang tak percaya bahwa gadis kurus berlogat Jawa itu pernah tidur di samping tempat sampah.

Kembali dan Memberi

Setelah pulang ke Indonesia, Rara tak berubah. Ia menolak tawaran bekerja di luar negeri. Ia tetap tinggal di kampung bantaran sungai tempat ia dibesarkan. Tapi kali ini, ia bukan lagi anak pemulung. Ia adalah pelopor perubahan.

Ia mendirikan Sekolah Hijau Rakyat, tempat anak-anak belajar soal lingkungan, energi terbarukan, dan kewirausahaan. Ia melatih ibu-ibu membuat kerajinan dari plastik daur ulang. Ia bekerja sama dengan universitas dan NGO untuk membangun instalasi pengolahan limbah kecil-kecilan.

Kini, tempat tinggalnya yang dulu kumuh sudah berubah. Sungai mulai jernih. Tumpukan sampah berkurang. Bahkan kampungnya dinobatkan sebagai salah satu kampung paling bersih dan ramah lingkungan di Jawa Timur.

Rara tidak hanya mengubah hidupnya sendiri, tapi juga hidup ratusan orang di sekitarnya. Ia mengubah paradigma bahwa perubahan hanya bisa datang dari atas. Ia membuktikan bahwa satu orang biasa bisa menciptakan gelombang luar biasa.

Pelajaran dari Seorang Pejuang Sampah

Rara adalah potret nyata bahwa keberanian dan ilmu bisa menjadi senjata ampuh untuk mengubah dunia. Ia tidak dilahirkan dalam kemewahan, tidak memiliki koneksi, bahkan tak punya rumah layak. Tapi ia punya hati yang besar, tekad yang kuat, dan mimpi yang tak bisa dipadamkan.

Mengharukan karena perjuangannya dimulai dari tempat yang dianggap kotor dan hina. Menggugah karena ia tidak hanya bicara, tapi bertindak nyata. Menginspirasi karena ia menunjukkan bahwa ilmu bisa menjadi cahaya di tengah gelapnya kemiskinan. Dan menghebohkan karena dunia pun terdiam mendengar suaranya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *